Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

FIQHUL IKHTILAF: MEMAHAMI DAN ADAB DALAM PERBEDAAN PENDAPAT

www.fiqihsunah.com

fiqihsunah.com - Allah Swt menciptakan manusia ini berbeda. Berbeda bahasa, kulit, suku dan bangsa. Namun, justeru perbedaan yang ada ini telah melahirkan peradaban dunia. Saling berbagi pengalaman dan ilmu pengetahuan. Semuanya bermuara kepada hakikat penciptaan manusia, yaitu berbakti (ibadah) kepada Allah Swt. Dan dihadapan Allah Swt manusia adalah sama, hanya ketaqwaan seseorang yang membedakannya.

“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian kaum lelaki dan perempuan, serta menjadikan kalian bersuku-suku dan berbangasa-bangsa agar kalian saling mengenal (kerjasama), sesungguhnya manusia mulia di hadapan Allah Swt adalah mereka yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat: 13)
    Silahkan dibaca juga :
MACAM-MACAM IKHTILAF (PERBEDAAN)
Sebelum berbicara “Adab Perbedaan,” alangkah baiknya kita mengetahui terlebih dahulu definisi atau makna perbedaan (ikhtilaf). Secara garis besar ikhtilaf terbagi dua,

1. Ikhtilaful qulub (perbedaan dan perselisihan hati) yang termasuk kategori tafarruq (perpecahan). Tentunya hal ini tertolak dan tidak ditolerir.

2. Ikhtilaful ‘uqul wal afkar (perbedaan dan perselisihan dalam hal pemikiran dan pemahaman), terbagi dua, Pertama, Ikhtilaf dalam masalah-masalah ushul  (prinsip). Ini pun termasuk kategori tafarruq. Seperti, aqidah. Dalam hal ini tidak ada kata toleransi.
Kedua, Ikhtilaf dalam masalah-masalah furu’ (cabang, bukan ushul). Ini termasuk kategori ikhtilaf  yang diterima dan ditolerir. Selama tidak berubah menjadi perbedaan dan perselisihan hati. Dan ikhtilaf jenis inilah yang menjadi topik pembicaraan kita kali ini.

ANTARA IKHTILAF (PERBEDAAN) DAN TAFARRUQ (PERPECAHAN)
Selanjutnya, saya ingin mengajak pembaca jeli dengan kata perbedaan (ikhtilaf) dan perpecahan (tafarruq). Dua istilah ini sangat berbeda, diantaranya sebagai berikut,
a. Setiap tafarruq (perpecahan) merupakan ikhtilaf (perbedaan)
b. Tidak setiap ikhtilaf (perbedaan) merupakan tafarruq (perpecahan)
c. Namun setiap ikhtilaf bisa dan berpotensi untuk berubah menjadi tafarruq antara lain,
     Karena pengaruh hawa nafsu
     Karena salah persepsi (salah mempersepsikan masalah)
     Karena tidak menjaga moralitas dan etika dalam berbeda pendapat
 
HAKIKAT IKHTILAF DALAM  MASALAH-MASALAH FURU’ (IJTIHADIYAH)
Di point yang ketiga ini mari kita sama-sama mengkaji lebih dalam lagi hakikat ikhtilaf,

1. Ikhtilaf (perbedaan pendapat) yang dimaksud adalah perbedaan pendapat yang terjadi diantara para imam mujtahid dan ulama mu’tabar (yang diakui) dalam masalah-masalah furu’ yang merupakan hasil dan sekaligus konsekuensi dari proses ijtihad yang mereka lakukan.

2. Fenomena perbedaan pendapat dalam masalah furu’  (ijtihadiyah) adalah fenomena yang normal dan wajar, karena dua hal,
 Tabiat teks-teks dalil syar’i yang potensial untuk diperbedakan dan diperselisihkan
 Tabiat akal manusia yang beragam daya pikirnya dan bertingkat-tingkat kemampuan pemahamannya

3. Fenomena perbedaan pendapat dalam masalah furu’ (ijtihadiyah) adalah fenomena klasik yang sudah terjadi sejak generasi salaf, dan merupakan realita yang diakui, diterima dan tidak mungkin ditolak atau dihilangkan sampai kapanpun karena memang sebab-sebab yang melatarbelakanginya akan tetap selalu ada.

PENYEBAB IKHTILAF
Penyebab ikhtilaf, dapat disimpulkan dan dikelompokkan ke dalam empat sebab utama,
1. Perbedaan pendapat tentang valid-tidaknya suatu teks dalil syar’i  sebagai hujjah.
2. Perbedaan pendapat dalam menginterpretasikan teks dalil syar’i tertentu.
3. Perbedaan pendapat tentang beberapa kaidah ushul fiqh dan beberapa dalil (sumber) hukum syar’i (dalam masalah-masalah yang tidak ada nash-nya), seperti qiyas, istihsan, mashalih mursalah, ’urf, saddudz-dzara-i’, syar’u man qablana, dan lain-lain.
4. Perbedaan pendapat yang dilatar belakangi oleh perubahan situasi, kondisi, tempat , masyarakat, dan semacamnya.

BAGAIMANA ADAB DAN MENYIKAPI IKHTILAF?
Setelah kita mengetahui istilah ikhtilaf, macam dan penyebabnya baru kita berbicara bagaimana sikap kita dengan perbedaan pendapat ini?

Setidaknya ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan dengan fenomena ikhtilaf ini,
1. Membekali diri sebaik-baiknya dengan ilmu, iman, amal dan akhlaq secara proporsional.
2. Memfokuskan dan lebih memprioritaskan perhatian dan kepedulian terhadap masalah-masalah besar ummat.
3. Memahami ikhtilaf dengan benar, mengakui dan menerimanya sebagai bagian dari rahmat Allah bagi ummat.
4. Memadukan dalam mewarisi ikhtilaf para ulama terdahulu dengan sekaligus mewarisi etika dan sikap mereka dalam ber-ikhtilaf.
5. Mengikuti pendapat (ittiba’) ulama dengan mengetahui dalilnya, atau memilih pendapat yang rajih (kuat) setelah mengkaji dan membandingkan berdasarkan metodologi (manhaj) ilmiah yang diakui, tentu bagi yang mampu.
6. Untuk praktek pribadi, sebaiknya memilih sikap yang lebih berhati-hati (ihtiyath) dalam rangka menghindari ikhtilaf (sesuai dengan kaidah ”al-khuruj minal khilaf mustahabb”)
7. Sementara terhadap orang lain atau dalam hal-hal yang terkait dengan kemaslahatan umum, diutamakan memilih sikap melonggarkan dan toleran (tausi’ah & tasamuh)
8. Menghindari sikap ghuluw (berlebihan) dan sikap mutlak-mutlakan dalam masalah-masalah furu’ ijtihadiyah.
9. Tetap mengutamakan dan mengedepankan masalah-masalah prinsip yang telah di sepakati atas masalah-masalah furu’ yang di perselisihkan.
10. Tidak menerapkan sikap wala’ dan bara’ dalam ikhtilaf tentang masalah-masalah furu’ ijtihadiyah.
11. Menjadikan masalah-masalah ushul (prinsip) yang disepakati - dan bukan masalah-masalah furu’ ijtihadiyah - sebagai standar / parameter komitmen seorang muslim
12. Menjaga agar ikhtilaf dalam masalah-masalah furu’ ijtihadiyah tidak berubah menjadi perselisihan hati.
13. Menyikapi orang lain sebagaimana kita ingin disikapi

PELAJARAN DAN TELADAN DARI ULAMA SALAF
Terakhir, mari kita sama-sama menyelami kisah ulama terdahulu (salaf) dalam hal perbedaan pendapat ini.

1. Al Imam Yahya bin Sa’id Al Anshari berkata, ”Para ulama adalah orang-orang yang memiliki kelapangan dada dan keleluasaan sikap, dimana para mufti selalu saja berbeda pendapat, sehingga (dalam masalah tertentu) ada yang menghalalkan dan ada yang mengharamkan. Namun toh mereka tidak saling mencela satu sama lain.” (Tadzkiratul Huffadz: 1/139 dan Jami’ Bayan al-’Ilmi wa Fadhlih 393).

2. Al-Imam Yunus bin Abdul A’la Ash-Shadafi (salah seorang murid/sahabat Al-Imam Asy-Syafi’i) berkata, ”Aku tidak mendapati orang yang lebih berakal (lebih cerdas) daripada Asy Syafi’i. Suatu hari pernah aku  berdiskusi (berdebat) dengan beliau, lalu kami berpisah. Setelah itu beliau menemuiku dan menggandeng tanganku seraya berkata, ”Hai Abu Musa! Tidakkah sepatutnya kita tetap bersaudara, meskipun kita tidak sependapat dalam satu masalah pun? (tentu diantara masalah-masalah ijtihadiyah). (Siyaru A’lam An-Nubala’: 10/16-17)

3. Al-Imam Asy-Syafi’i  berkata, ”Pendapatku, menurutku, adalah benar, tetapi ada kemungkinan salah. Dan pendapat orang lain, menurutku, adalah salah, namun ada kemungkinan benar.”

4. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, ”Seandainya setiap kali dua orang muslim yang berbeda pendapat dalam suatu masalah itu saling menjauhi dan memusuhi, niscaya tidak akan tersisa sedikitpun ikatan ukhuwah diantara kaum muslimin.” (Majmu’ Al-Fatawa : 24/173)

5. Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri berkata,”Dalam masalah-masalah yang diperselisihkan diantara para ulama fiqih, aku tidak pernah melarang seorang pun diantara saudara-saudaraku untuk mengambil salah satu pendapat yang ada.” (Al-Faqih wal Mutafaqqih: 2/69)

6. Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur (atau Harun Ar-Rasyid) pernah berazam  untuk menetapkan kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik sebagai kitab wajib yang harus diikuti oleh seluruh ummat Islam. Namun Imam Malik sendiri justeru menolak hal itu dan meminta agar ummat di setiap wilayah dibiarkan tetap mengikuti madzhab yang telah lebih dahulu mereka anut.”  (Jami’ Bayan al-’Ilmi wa Fadhlih: 209-210, Al-Intiqa’: 45)

7. Khalifah Harun Ar-Rasyid berbekam lalu langsung mengimami shalat  tanpa berwudhu lagi (mengikuti fatwa Imam Malik). Dan Imam Abu Yusuf (murid dan sahabat Abu Hanifah) pun ikut shalat bermakmum di belakang beliau, padahal berdasarkan madzhab Hanafi, berbekam itu membatalkan wudhu (Majmu Al-Fatawa: 20/364-366)

8. Imam Ahmad termasuk yang berpendapat bahwa berbekam dan mimisan itu membatalkan wudhu. Namun ketika beliau ditanya oleh seseorang,”Bagaimana jika seorang imam tidak berwudhu lagi (setelah berbekam atau mimisan), apakah aku boleh shalat di belakangnya?” Imam Ahmad pun menjawab, ”Subhanallah! Apakah kamu tidak mau shalat di belakang Imam Sa’id bin Al-Musayyib dan Imam Malik bin Anas?” (karena beliau berdualah yang berpendapat bahwa orang yang berbekam dan mimisan tidak perlu berwudhu lagi). (Majmu’ Al-Fatawa: 20/364-366)

9. Imam Abu Hanifah, sahabat-sahabat beliau, Imam Syafi’i, dan imam-imam yang lain, yang berpendapat wajib membaca basmalah sebagai ayat pertama dari surah Al-Fatihah, biasa shalat bermakmum di belakang
imam-imam shalat di Kota Madinah yang bermadzhab Maliki, padahal imam-imam shalat itu tidak membaca basmalah sama sekali ketika membaca Al-Fatihah, baik pelan maupun keras. (Al-Inshaf lid-Dahlawi: 109)

10.Imam Asy-Syafi’i pernah shalat shubuh di masjid dekat makam Imam Abu Hanifah dan tidak melakukan qunut (sebagaimana madzhab beliau), dan itu beliau lakukan ”hanya” karena ingin menghormati Imam Abu Hanifah. Padahal Imam Abu Hanifah telah wafat tepat ketika Imam Asy-Syafi’i lahir. (Al-Inshaf: 110)